Ruang Lingkup Fungsi Hukum Islam Dan Tujuannya Dalam Kehidupan
Fungsi Hukum Islam
Peranan hukum islam dalam masyarakat sebenarnya cukup banyak
, namun dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja,
yakni:
Fungsi Ibadah. Fungsi Utama hukum Islam adalah untuk
beribadah kepada Allah SWT.
Fungsi amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Hukum Islam mengatur
kehidupan manusia sehingga dapat menjadi kontrol sosial. Dari fungsi inilah
dapat dicapai tujuan hukum islam, yakni mendatangkan kemaslahatan (manfaat) dan
menghindarkan kemadharatan (sia-sia) baik di dunia maupun di akhirat.
Fungsi zawajir. Adanya sanksi hukum mencerminkan fungsi
hukum islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi umat dari segala perbuatan
yang membahayakan.
Fungsi tanzim wa islah al-ummah. Sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar interaksi sosial. Keempat fungsi tersebut tidak terpisahkan melainkan saling berkaitan. (Ibrahim Hosen, 1996:90)
Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum islam baik
dalam pengertian syari’at maupun fiqih dibagi menjadi dua bagian besar, yakni
bidang ibadah dan muamalah. Ibadah artinya menghambakan diri kepada Allah dan
merupakan tugas hidup manusia. Ketentuannya telah diatur secara pasti oleh
Allah dan dijelaskan oleh Rasul-Nya. Dengan demikian tidak mungkin adanya
perubahan dalam hukum dan tata caranya, yang mungkin berubah hanyalah
penggunaan alat-alat modern dalam pelaksanaannya. Adapun mu’amalat adalah
ketetapan Allah yang langsung mengatur kehidupan sosial manusia meski hanya
pada pokok-pokoknya saja. Oleh karena itu sifatnya terbuka untuk dikembangkan
melalui ijtihad.
Hukum islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum
perdata dan hukum publik seperti halnya dalam hukum barat. Hal ini disebabkan
karena menurut hukum islam pada hukum perdata ada segi-segi publik dan begitu
pula sebaliknya. Dalam hukum Islam yang disebutkan hanya bagian-bagiannya saja.
Menurut H. M. Rasjidi
bagian-bagian hukum islam adalah
1. Munakahat
yakni hukum yang mengatur segala sesuatu yang mengenai perkawinan, perceraian,
serta akibat-akibatnya.
2. Wirasah
mengatur segala masalah yang menyangkut tentang warisan. Hukum kewarisan ini
juga disebut faraid.
3. Muamalah dalam
arti khusus, yakni hukum yang mengatur masalah kebendaan dan tata hubungan
manusia dalam soal ekonomi.
4. Jinayat
(‘ukubat) yang menuat aturan-aturan
mengenai perbuatan yang diancam dengan baik dalam bentuk jarimah hudud
(bentuk dan batas hukumannya sudah ditentukan dalam Alqur’an dan hadis) maupun
jar h ta’zir (bentuk dan batas hukuman ditentukan penguasa).
5. Al Ahkam
as-sulthaniyah yakni hukum yang mengatur urusan pemerintahan, tentara, pajak,
dan sebagainya.
6. Siyar adalah
hukum yang mengatur perang, damai, tata hubungan dengan negara dan agama lain.
7. Mukahassamat
mengatur peradilan, kehakiman, dan hukum acara. (H. M. Rasjidi, 1980: 25-26)
Dari hal-hal yang sudah dikemukakan di atas, jelas bahwa hukum islam itu luas, bahkan bidang-bidang tersebut dapat dikembangkan masing-masing spesifikasinya lagi.
Tujuan Hukum Islam
Maqasih syariah (tujuan hukum islam) maksudnya adalah
nilai-nilai yang terkandung dalam aturan-aturan islam. Tujuan akhir dari hukum
islam pada dasarnya adalah kemaslahatan manusia di dunia dan di akherat. Adapun
tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia,
mengarahkan mereka pada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di
dunia dan di akherat, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan
mencegah atau menolak yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan
manusia.Berikut ini adalah beberapa dari tujuan hukum islam :
- Pemeliharaan atas keturunan
Hukum islam telah menetapkan aturan beserta hukum untuk
mencegah kerusakan atas nasab dan keturunan manusia.contohnya, islam melarang
zina dan menghukum pelakunya.
(QS. Al-Israa’ : 32)
“dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
- Pemeliharaan atas akal
Islam menetapkan aturan yang melarang umatnya mengkonsumsi
segala sesuat yang dapat merusak akal. Di sisi lain, islam mengajarkan umatnya
agar menuntut ilmu mentaddaburi alam, dan berpikir untuk mengembangkan
kemampuan akal. Allah memuji orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan.
(QS. Az-Zumar : 9)
“Katakanlah, ‘apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui.”
- Pemeliharaan untuk
agama
Islam tidak pernah memaksa seseorang untuk masuk dan
menganut agama islam. Allah telah berfirman
(QS. Al-Baqarah : 256)
}لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk agama. Tidak ada paksaan untuk agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat...”
Sifat Hukum Islam
Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum islam yakni
bidimensional, adil, dan individualistik.
· Bidimensional
artinya mengandung segi kemanusiaan dan segi ketuhanan (Ilahi). Di samping itu
sifat bidimensional juga berhubungan dengan ruang lingkupnya yang luas atau komprehensif.
Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek saja, tetapi mengatur berbagai
aspek kehidupan manusia. Sifat
dimensional merupakan sifat pertama yang melekat pada hukum islam dan merupakan
sifat asli hukum Islam.
· Adil, dalam
hukum Islam keadilan bukan saja merupakan tujuan tetapi merupakan sifat yang
melekat sejak kaidah – kaidah dalam sya’riat ditetapkan. Keadilan merupakan
sesuatu yang didambakan oleh setiap manusia baik sebagai individu maupun
masyarakat.
· Individualistik dan Kemasyarakatan yang diiikat oleh nilai-nilai transedental yaitu Wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan sifat ini, hukum islam memiliki validitas baik bagi perseorangan maupun masyarakat. Dalam sistem hukum lainnya sifat ini juga ada, hanya asaja nilai-nilai transedental sudah tidak ada lagi. (Mohammad Tahir Azhary, 1993:48-49)
B. Ciri-ciri Hukum Islam
- Merupakan bagian dan bersumber dan Agama islam
- Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat di pisahkan
dan aqidah dan akhlak.
- Mempunyai dua istilah kunci.
- Tediri atas dua bidang utama.
- Strukturnya berlapis.
Sumber-Sumber Hukum Islam
1. Al Qur’an (القرآن)
Adalah kitab suci umat islam. Kitab tersebut diturunkan kepada nabi terakhir, yaitu nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril. Al-qur’an memuat banyak sekali kandungan. Kandungan-kandungan tersebut berisi perintah, larangan, anjuran, ketentuan, dan sebagainya.
Al-qur’an menjelaskan secara rinci bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya agar tercipta masyarakat yang madani. Oleh karena itulah, Al-Qur’an menjadi landasan utama untuk menetapkan suatu hukum.
2. As Sunnah (Al-Hadits)
Sunnah dalam Islam mengacu kepada sikap, tindakan, ucapan dan cara Rasulullah menjalani hidupnya atau garis-garis perjuangan / tradisi yang dilaksanakan oleh Rasulullah. Sunnah merupakan sumber hukum kedua dalam Islam, setelah Al-Quran. Narasi atau informasi yang disampaikan oleh para sahabat tentang sikap, tindakan, ucapan dan cara Rasulullah disebut sebagai hadits. Sunnah yang diperintahkan oleh Allah disebut Sunnatullah.
3. Ijma’ (إجماع)
Adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum
hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang
terjadi. Ijma' terbagi menjadi dua:
Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma' di mana para ulama'
mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang meneangkan
persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya.
Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam,
tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap menyetujui.
4. Taklid atau Taqlid (تقليد)
Adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya.
5. Mazhab (مذهب,)
Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
6. Qiyas
Menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
7. Bid‘ah (بدعة)
Dalam agama Islam berarti sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang ini. Hukum dari bidaah ini adalah haram. Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan rukunnya.
8. Istihsan (استحسان)
Adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
Pembagian Hukum Islam
Ulama ushul fiqh membagi hukum Islam menjadi dua pembagian yaitu hukum al-taklifi dan wadh’i.
A. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Dinamakan hokum taklif karena titah ini langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf. Yang dimaksud dengan mukallaf dalam kajian hokum islam adalah setiap orang yang sudah baligh (dewasa) dan waras. Anak-anak, orang gila / mabuk dan orang tertidur tidak termasuk golongna mukallaf, maka segala tindakan yang mereka lakukan tidak dapat dikenakan sangsi hokum. Ada dua bentuk tuntutan di dalam hokum islam, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalakan. Dari segi kekuatan tuntutan tersebut terbagi pula ke dalam dua bentuk yaitu tuntutan yang bersifat mesti dan tuntutan yang tidak mesti dan pilihan yang terletak di antara mengerjakan dan meninggalkan.
Menurut Al-Amidi ( 1983 : 91 ) hokum taklif itu ada empat dengan tidak memasukkan al-ibadah (pilihan) karena yang dimaksud dengan taklif itu adalah beban kepada orang yang mukallaf baik untuk mengerjakan atau meninggalkan, sedangkan menurut jumhur ulama hokum taklif itu ada lima macam yang disebut juga dengan hukum yang limasebagai berikut.
a. Wajib, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan yang mesti dikerjakan, sehingga orang yang mengerjakan patut mendapatkan ganjaran, dan kalau ditinggalkan patut mendapatkan ancaman, seperti firman Allah dalam Q.S 4 : 36 yang terjemahannya sebagai berikut.
“ Sembahlah olehmu Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun (Depag. R.I ,1984:123 ).
b. Sunat, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan tetapi tidak mesti dikerjakan, hanya berupa anjuran untuk mengerjakannya. Bagi orang yang melaksanakan berhak mendapatkan ganjaran. Karena kepatuhannya, tetapi apabila tuntutan itu ditinggalkan boleh saja, tidak mendapat ancaman dosa seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 2 : 282 yang terjemahannya sebagai berikut.
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu menuliskannya”. (Depag. R.I, 1984 : 70).
c. Haram, yaitu tuntutan yang mengandung larangan yang mesti dijauhi. Apabila seseorang telah meninggalkannya berarti dia telah patuh kepada yang melarangnya, karena itu dia patut mendapatkan ganjaran berupa pahala. Orang yang tidak meninggalkan larangan berarti dia telah mengingkari tuntutan Allah, karena itu patut mendapatkan ancaman dosa, seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 17 : 23 yang terjemahannya sebagai berikut.
“ …Janganlah kamu mengatakan ah kepada ibu bapakmu, dan janganlah kamu menghardikkeduanya, katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia.” (Depag. R.I, 1984 : 427).
d. Makruh, yaitu
tuntutan yang mengandung larangan tetapi tidak mesti dijauhi. Artinya orang
yang meninggalkan larangan berarti telah mematuhi yang melarangnya, karena itu
ia berhak mendapat ganjaran pahala. Tetapi karena tidak ada larangan yang
bersifat mesti, maka orang yang meninggalakan larangan itu tidak dapat disebut
menyalahi yang melarang, dan tidak berhak mendapatkan ancaman dosa seperti
sabda Nabi SAW. Berikut ini.
“Dari Ibnu Umar, semoga Allah meridhainya, Rasulullah SAW bersabda, perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah Thalak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah dan dishahihkan Hakim)(Al-Shan’ani, hal : 168).
e. Mubah, yaitu titah
Allah SWT yang memberikan titah kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan
atau meninggalkan , dalam hal ini tidak ada tuntutan baik mengerjakan atau
meninggalkan. Apabila seseorang mengerjakan dia tidak diberi ganjaran dan tidak
pula ancaman atas perbuatannya itu. Dia juga tidak dilarang berbuat, karena itu
apabila dia melakukan perbuatan itu dia tidak diancam dan tidak diberi ganjaran
seperti firman Allah SWT dala Q.S 2 : 229 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Talak (yang dapat rujuk) dua kali. Setelah itu, boleh rujuklagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik (Depag. R.I, 1984 : 55).
Pengaruh titah ini terhadap perbuatan disebut juga ibahah, dan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut mubah.
B. Hukum Wadh’i
Ulama ushul fiqh membagi hokum wadh’I kepada lima macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, dan bathil (Nasrun Haroen, 1995: 40), sedangkan menurut Al-Amidi tujuh macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, bathil,azimah dan rukhsah (Al-Amidi, 1983 : 91).
1. Sabab, yaitu
titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan sebabbagi wajib dikerjakan
suatu pekerjaan , seperti firman Allah SWT dalam Q.S 17 :78 yang terjemahannya
sebagai berikut.
“Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.” (Depag. R.I, 1984 : 436).
2. Syarath, yaitu titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi sesuatu seperti sabda Nabi SAW, yang terjemahannya sebagai berikut.
“Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kamu apabila dia berhadas hingga berwudhu.” H.R. Syaikhani (Al-Shan’ani I, ttth :40).
Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu, tetapi seseorang yang dalam keadaan berwudhu tidak otomatis harus mengerjakan shalat karena berwudhu itu merupakan salah satu syarat sah nya shalat. Jadi suatu hokum taklifi tidak dapat dilaksanakan sebelum memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan syara’. Oleh sebab itu berwudhu ( suci ) merupakan syarat sahnya shalat.
3. Mani’(penghalang), yaitu sesuatu yang nyata keberadaannya menyebabkan tidaj ada hokum. Misalnya sabda Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Abi Hubeisy yang terjemahannya sebagai berikut.
“ Apabila datang
haid kamu tinggalkanlah shalat, dan apabila telah berhenti, maka mandilah dan
shalatlah.” H.R. Bukhari ( Al-Asqalany, I tth :63).
Dari contoh-contoh di atas jelas keterkaitan antara sebab, syarat dan mani’ sangat erat.
4. Shah, yaitu suatu hokum yang sesuai dengan tuntutan syara’. Maksudnya hokum itu dikerjakan jika ada penyebab , memenuhi syarat-syarat dan tidak ada sebab penghalang untuk melaksanakannya. Misalnya, mengerjakan shalat zuhur setelah tergelincir matahari sabab (sebab)telah berwudhu (syarat), dan tidak ada penghalang (mani’) seperti haid, nifas dan sebagainya, maka hukumnya adalah sah.
5. Bathil, yaitu terlepasnya hokum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hokum yang ditimbulkannya, seperti batalnya jual beli dengan memperjualbelikan minuman keras, karena minuman keras itu tidak bernilai harta dalam ketentuan hukum syara’.
Adapun mengenai rukhsah dan ‘azimah, Syarifuddin sependapat dengan Al-Amidi yaitu termasuk pemabahasan hokum wadh’i dalam pelaksanaan hokum taklifi (Syarifuddin I, 1997: 28). ‘Azimah yaitu hokum asal atau pelaksanaan hokum taklifi berdasarkan dalili umum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya, seperti haramnya bangkai untuk umat Islam.
Rukhsah,
yaitu keringanan atau pelaksanaan hokum taklifi berdasarkan dalil yang khusus
sebagai pengecualian dari dalil yang umum karena keadaan tertentu seperti boleh
memakan bangkai dalam keadaan tertentu, walaupun secara umum memakan bangkai
itu haram.
Belum ada Komentar untuk "Ruang Lingkup Fungsi Hukum Islam Dan Tujuannya Dalam Kehidupan"
Posting Komentar